KANKER SERVIKS
(KANKER MULUT RAHIM)
A. ABSTRAK
Sampai saat ini, kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi. Setiap tahun, di dunia terdapat 500.000 kasus baru kanker serviks dan lebih dari 250.000 kematian. Di Indonesia yang berpenduduk sekitar 220 juta jiwa, terdapat sekitar 52 juta perempuan yang terancam kanker serviks. Penyebab utama dari kanker serviks adalah infeksi HPV (Human Papilloma Virus). Proses terjadinya karsinoma serviks sangat erat hubungannya dengan proses metaplasia. Perubahan biasanya terjadi pada daerah sambungan skuamous kolumnar (SSK) atau daerah transformasi. Prognosis kanker serviks dibedakan berdasarkan kriteria morfometrik, penyebaran, serta usia.
B. PENDAHULUAN
Sampai
saat ini, kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan di
Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status
sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan
prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam
menentukan prognosis penderita. Kanker mulut rahim adalah kanker terbanyak
kelima pada wanita di seluruh dunia. Penyakit ini banyak terdapat pada wanita
Amerika Latin, Afrika, dan negara-negara berkembang lainnya di Asia, termasuk
Indonesia. Pada wanita-wanita Suriname keturanan Jawa, terdapat insidensi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan etnis lainnya.
Kanker mulut rahim di negara-negara maju menempati urutan keempat setelah kanker payudara, kolorektum, dan endometrium. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang menempati urutan pertama. Di negara Amerika Serikat, kanker mulut rahim memiliki Age Specific Incidence Rate (ASR) yang khas, kurang lebih 20 kasus per 100.000 penduduk wanita per-tahun.
C. EPIDEMIOLOGI KANKER SERVIKS
Untuk
wilayah ASEAN, insidens kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras Cina;
17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insidens
dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di
AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks
pre-invasif lebih sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan
terdapat 3.700 kematian akibat kanker serviks pada 2006.
Di
Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim setiap
tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium
patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah
penderita terbanyak di Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah
sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus
di antara 918 kanker pada perempuan
Di
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di
antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu
stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium
dengan gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus.
Relative survival pada wanita dengan lesi pre-invasif hampir 100%. Relative 1 dan 5 years survival masing-masing sebesar 88% dan 73%. Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita
D. FAKTOR RISIKO KANKER SERVIKS
1. Hubungan
Seksual
Karsinoma
serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual. Beberapa
bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko
penyakit ini.
Sesuai
dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan
wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap
metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia
18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik
usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor
risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks
2. Karakteristik
Partner
Sirkumsisi pernah
dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang hanya dihubungkan
dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien
dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang
melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis
atau partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan
meningkatkan risiko kanker serviks.
3. Riwayat
Ginekologis
Walaupun
usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil di
usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat
pula meningkatkan risiko.
Gambar
1. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks
4. Dietilstilbesterol
(DES)
Hubungan antara clear
cell adenocarcinoma serviks dan paparan DES in utero telah dibuktikan.
5. Agen
Infeksius
Mutagen pada umumnya
berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti Human
Papilloma Virus (HPV) dan Herpes Simpleks Virus Tipe 2 (HSV 2) (Benedet
1998: Nuranna 2005).
6. Human
Papilloma Virus (HPV)
Terdapat sejumlah bukti
yang menunjukkan bahwa Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab
neoplasia servikal. Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai sejak
seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks
yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Ada bukti lain yaitu
onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi HPV serviks dengan kondiloma
dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang; serta deteksi
antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat
dengan diplasia ringan yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan
dengan diplasia berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi
karsinoma insitu. Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang
menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS).
Seorang wanita dengan
seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan menjadi
transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan hilang dalam waktu 6-8
bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap HPV risiko-tinggi yang
berperan. Dua puluh persen sisanya berkembang menjadi NID dan sebagian besar,
yaitu 80%, virus menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu,
yang berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi virus
tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan bertahan atau NIS
1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada akhirnya sebagiannya lagi menjadi
kanker invasif.
HPV risiko rendah tidak
berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa
menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada
NIS 3 atau karsinoma invasif. Berdasarkan hasil program skrining berbasis
populasi di Belanda, interval antara NIS 1 dan kanker invasif diperkirakan 12,7
tahun dan kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya
kanker adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait dengan
infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPV-specific
T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya perubahan genom
dari sel yang terinfeksi.
Dalam hal, ini faktor onkogen E6 dan E7 dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetik sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.
7. Virus
Herpes Simpleks
Walaupun semua virus
herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi
insitu telah menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan
wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi pada sel
tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. Diperkirakan, 90% pasien dengan kanker
serviks invasif dan lebih dari 60% pasien dengan neoplasia intraepitelial
serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus.
8. Lain-Lain
Infeksi trikomonas,
sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker serviks. Namun,
infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner
dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung.
9. Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan.
E. FAKTOR RISIKO YANG DIPERKIRAKAN KANKER SERVIKS
1. Kontrasepsi
Oral
Risiko noninvasif dan
invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral.
Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua
studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan
seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah
satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif.
Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral.
2. Diet
Diet rendah karotenoid
dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks.
3. Etnis
dan Faktor Sosial
Wanita di kelas
sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar daripada
wanita di kelas yang paling tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh
hubungan seksual dan akses ke sistem pelayanan kesehatan. Di Amerika Serikat,
ras negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih
tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan
pengaruh sosioekonomi.
4. Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks
F. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI KANKER SERVIKS
Secara histopatologi, kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Sekitar 85% merupakan karsinoma serviks jenis skuamosa (epidermoid), 10% jenis adenokarsinoma, serta 5% adalah jenis adenoskuamosa, clear cell, small cell, verrucous dan lain-lain.
G. FAKTOR PROGNOSTIK KANKER SERVIKS
Ketahanan
hidup penderita pada kanker serviks stadium awal setelah histerektomi radikal
dan limfa-denektomi pelvis bergantung pada beberapa faktor:
1.
Status KGB
Penderita tanpa
metastasis ke KGB, memiliki 5-year survival rate (5-YSR) antara 85-90%. Bila
didapatkan metastasis ke KGB maka 5-YSR antara 20-74%, bergantung pada jumlah,
lokasi, dan ukuran metastasis.
2.
Ukuran Tumor
Penderita dengan ukuran
tumor < 2 cm angka survival-nya 90% dan bila > 2 cm angka survival-nya
menjadi 60%. Bila tumor primer > 4 cm, angka survival turun menjadi
40. Analisis dari GOG terhadap 645 penderita menunjukkan 94,6% tiga tahun bebas
kanker untuk lesi yang tersembunyi: 85,5% untuk tumor < 3 cm, dan 68,4% bila
tumor > 3 cm.
3.
Invasi ke jaringan
parametrium
Penderita dengan invasi
kanker ke parametrium memiliki 5-YSR 69% dibandingkan 95% tanpa invasi. Bila
invasi disertai KGB yang positif maka 5-YSR turun menjadi 39-42%.
4.
Kedalaman invasi
Invasi < 1 cm memilki
5-YSR sekitar 90% dan akan turun menjadi 63 – 78% bila > 1 cm.
5.
Ada tidaknya invasi ke lymph-vascular
space
Invasi ke lymph – vascular
space sebagai faktor prognosis masih menjadi kontroversi. Beberapa laporan
menyebutkan 50 – 70% 5-YSR bila didapatkan invasi ke lymph – vascular
space dan 90% 5-YSR bila invasi tidak didapatkan. Akan tetapi, laporan lain
mengatakan tidak ada perbedaan bermakna dengan adanya invasi atau tidak.
H. GAMBARAN PATOLOGI SEBAGAI FAKTOR PROGNOSIS
1. Histologi
Para ahli menemukan
hubungan adenokarsinoma serviks dengan prognosis yang lebih buruk daripada
karsinoma sel skuamous, khususnya pada pasien dengan limfonodus positif dan
mempunyai interval rekurensi yang lebih pendek daripada karsinoma sel skuamous.
Adenoma maligna, yaitu subtipe adenokarsinoma yang jarang dan berdiferensiasi
jelek, diketahui berhubungan dengan prognosis yang jelek. Pada penelitian
ditemukan bahwa hanya 25% pasien adenoma maligna stadium I dan II yang survive
selama 3 tahun.
2. Diferensiasi
dan Grade Histopatologi
Kepentingan
prognosis dari diferensiasi kanker serviks sampai saat ini masih diperdebatkan.
Demikian pula sampai saat ini tidak ditemukan hubungan prognostik dengan grade
kanker serviks. Bichel dkk (1985) memakai sistem grading malignancy (MGS) untuk
meneliti 275 biopsi karsinoma sel skuamous invasif. Sistem ini berdasarkan 8
parameter, di mana tiap grade dibagi atas 3 poin (tabel 2). Angka survival pada
pasien dengan indeks MGS < 14 adalah lebih baik daripada indeks MGS > 14
(p=0,001). Tidak ditemukan hubungan antara skor MGS dengan stadium klinik
pasien.
3. Reaksi
Stromal
Seperti grading
histologik, reaksi stroma pada kanker serviks mula-mula diperiksa untuk
mengetahui radio sensitivitas tumor. Para ahli menemukan bahwa reaksi stroma
merupakan faktor prognosis yang baik. Dilaporkan bahwa pasien dengan tumor yang
mempunyai infiltrate limfosit padat dan uniform mempunyai prognosis yang lebih
baik. Metastasis tumor hanya ditemukan pada pasien yang hanya mempunyai
infiltrat sel eosinofil pada tumornya.
4. Umur
Telah banyak penelitian menemukan bahwa insidens kanker serviks pada usia muda makin meningkat dan tumor terlihat lebih agresif. Pada analisis retrospektif terhadap 2628 pasien, ditemukan bahwa insidens dan derajat keganasan lebih tinggi pada kelompok usia muda. Selain itu, pada tiap penelitian ditemukan bahwa wanita muda mempunyai risiko metastasis limfonodus yang lebih besar. Insidens metastasis limfonodus pelvis pada wanita muda meningkat dari 23% menjadi 40% selama periode 34 tahun (p=0,02), meskipun limfadenektomi yang makin banyak dilakukan juga mempengaruhi angka ini.
I. PENCEGAHAN KANKER SERVIKS
Pencegahan
memiliki arti yang sama dengan deteksi dini atau pencegahan sekunder, yaitu
pemeriksaan atau tes yang dilakukan pada orang yang belum menunjukkan adanya
gejala penyakit untuk menemukan penyakit yang belum terlihat atau masih berada
pada stadium praklinik. Program pemeriksaan/skrining yang dianjurkan untuk
kanker serviks (WHO): skrining pada setiap wanita minimal satu kali pada usia
35-40 tahun. Jika fasilitas tersedia, lakukan tiap 10 tahun pada wanita usia
35-55 tahun. Jika fasilitas tersedia lebih, lakukan tiap 5 tahun pada wanita
usia 35-55 tahun. Ideal atau optimal, lakukan tiap 3 tahun pada wanita usia
25-60 tahun.
1. Test
PAP
Secara umum, kasus kanker
mulut rahim dan kematian akibat kanker mulut rahim bisa dideteksi dengan
mengetahui adanya perubahan pada daerah mulut rahim dengan cara pemeriksaan
sitologi menggunakan tes Pap. American College of Obstetrician and
Gynecologists (ACOG), American Cancer Society (ACS), dan US Preventive Task
Force (USPSTF) mengeluarkan panduan bahwa setiap wanita seharusnya melakukan
tes Pap untuk skrining kanker mulut rahim saat 3 tahun pertama dimulainya
aktivitas seksual atau saat usia 21 tahun. Karena tes ini mempunyai risiko
false negatif sebesar 5-6%, Tes Pap yang kedua seharusnya dilakukan satu tahun
pemeriksaan yang pertama.
Pada akhir tahun 1987,
American Cancer Society mengubah kebijakan mengenai interval pemeriksaaan Tes
Pap tiap tiga tahun setelah dua kali hasil negatif. Saat ini, sesuai dengan
American College of Obstetry and Gynecology dan National Cancer Institute,
dianjurkan pemeriksaan Tes Pap dan panggul setiap tahun terhadap semua wanita
yang aktif secara seksual atau yang telah berusia 18 tahun. Setelah wanita
tersebut mendapatkan tiga atau lebih Tes Pap normal, tes dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih jarang sesuai dengan yang dianjurkan dokter. Diperkirakan
sebanyak 40% kanker serviks invasif dapat dicegah dengan skrining pap interval
3 tahun.
2. IVA
IVA merupakan tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 2%) dan larutan iosium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan. Tujuannya adalah untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia sebagai salah satu metode skrining kanker mulut rahim. IVA tidak direkomendasikan pada wanita pasca-menopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak kanalis servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo. IVA positif bila ditemukan adanya area berwarna putih dan permukaannya meninggi dengan batas yang jelas di sekitar zona transformasi.
3. Menunda
Onset Aktivitas Seksual
Menunda aktivitas seksual
sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan mengurangi risiko
kanker serviks secara signifikan.
4. Penggunaan
Kontrasepsi Barier
Dokter merekomendasikan
kontrasepsi metode barier (kondom, diafragma, dan spermisida) yang berperan
untuk proteksi terhadap agen virus. Penggunaan lateks lebih dianjurkan daripada
kondom yang dibuat dari kulit kambing.
5. Penggunaan
Vaksinasi HPV
Vaksinasi HPV yang
diberikan kepada pasien bisa mengurangi infeksi Human Papiloma Virus, karena
mempunyai kemampuan proteksi >90%. Tujuan dari vaksin propilaktik dan vaksin
pencegah adalah untuk mencegah perkembangan infeksi HPV dan rangkaian dari
event yang mengarah ke kanker serviks. Kebanyakan vaksin adalah berdasarkan
respons humoral dengan penghasilan antibodi yang menghancurkan virus sebelum ia
menjadi intraseluler.
Masa depan dari vaksin
propilatik HPV sangat menjanjikan, namun penerimaan seluruh populasi
heterogenous dengan tahap pendidikan berbeda dan kepercayaan kultur berbeda
tetap dipersoalkan. Sebagai tambahan, prevelansi tinggi infeksi HPV
mengindikasikan bahwa akan butuh beberapa dekade untuk program imunisasi yang
sukses dalam usaha mengurangi insiden kanker serviks.
J. KESIMPULAN
Tidak
dapat disangkal bahwa kanker serviks merupakan masalah kesehatan di dunia pada
masa lalu, masa sekarang, dan tidak mustahil juga merupakan masalah di masa
yang akan datang. Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada
wanita dan menjadi penyebab lebih dari 250.000 kematian pada 2005. Kurang lebih
80% kejadian kematian terjadi di negara berkembang. Masalah ini ditengarai
dapat diatasi dengan upaya pokok menemukan lesi prakanker. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk menemukan lesi prakanker dalam rangka melakukan deteksi dini
pada kanker serviks.
Upaya-upaya yang dilakukan berupa papsmear, inspeksi visual dengan asam asetat, dan lain sebagainya. Sayangnya, usaha untuk menemukan lesi prakanker atau yang sering disebut sebagai usaha skrining masih belum optimal. Selain belum optimalnya usaha skrining, terdapat pula masalah dalam penatalaksanaannya. Jadi, setelah dilakukan deteksi dini pada kanker serviks dan didapatkan lesi prakanker, permasalahannya adalah apakah penatalaksanaannya selama ini sudah adekuat? Oleh karena itu, untuk meningkatkan deteksi dini kanker serviks dapat diusulkan untuk dilakukan program see & treat. Dalam hal ini, pasien yang datang ke fasilitas kesehatan setelah dilakukan proses diagnosis dan didapatkan lesi prakanker dapat langsung dilakukan tata laksana.
0 Comments